Tidak mengatur mekanisme ISDS dalam RCEP sudah tepat

Indonesia for Global Justice - 25 October 2019

Tidak mengatur mekanisme ISDS dalam RCEP sudah tepat

Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai tidak diaturnya mekanisme ISDS di dalam Perjanjian RCEP adalah langkah tepat yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Hal ini merupakan kemenangan kecil perjuangan kelompok masyarakat sipil yang terus mendesak Pemerintah Indonesia untuk tidak memasukan mekanisme ISDS ke dalam perjanjian perdagangan dan investasi internasional yang sedang dirundingkan seperti RCEP dan EU CEPA.

Meskipun saat ini RCEP tidak mengatur mekanisme ISDS, namun perjanjian tersebut membuka peluang agar dalam lima tahun ke depan isu mekanisme ISDS dibahas kembali oleh para anggotanya.

“Tidak mengatur mekanisme ISDS dalam RCEP sudah sangat tepat. Ini adalah kemenangan kecil dalam perjuangan masyarakat sipil yang secara terus menerus mendesak Pemerintah selama proses perundingan. Dan seharusnya hal ini harus secara konsisten dipertahankan oleh Pemerintah Indonesia, sehingga tidak perlu ada pembahasan kembali soal ini di RCEP dalam lima tahun mendatang”, tegas Rachmi Hertanti, Direktur Eksekutif IGJ.

Selama ini, IGJ bersama-sama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi kerap melakukan kritik terhadap mekanisme ISDS yang telah menyeret Indonesia ke meja arbitrase internasional atas gugatan investor asing. Mekanisme ISDS adalah hak ekslusif yang diberikan kepada investor asing dalam perjanjian perdagangan dan investasi internasional, sehingga negara tersandera dengan kepentingan investor ketimbang perlindungan kepentingan rakyat luas. Bahkan kritik terhadap mekanisme ISDS juga dilakukan oleh negara baik di utara maupun selatan. Peninjauan kembali dan penghentian terhadap Bilateral Investment Treaty (BIT) kerap dilakukan. Termasuk upaya melakukan reformasi terhadap mekanisme ISDS sedang dibahas pada level global pada sidang UNCITRAL yang telah berlangsung sebanyak lima sesi di Vienna bulan Oktober ini.

“Indonesia tidak sendirian mengkritik Mekanisme ISDS. Tidak tercapainya kata sepakat mengenai mekanisme ISDS dalam RCEP adalah bukti kuat penolakan negara anggota RCEP terhadap ISDS. Oleh karena itu, dilema perlindungan investasi tidak perlu dijawab dengan mekanisme ISDS atau yang serupa. Kita sudah punya mekanisme judisial pada level nasional yang juga kerap dipakai oleh investor untuk memprotes kebijakan pemerintah. Tinggal, ke depan Pemerintah Indonesia harus melakukan penegakan hukum terhadap praktek korup di lembaga peradilan sehingga kredibel dan tinggi integritasnya. Sehingga, keadilan dapat dirasakan tidak hanya oleh investor, tetapi juga masyarakat pencari keadilan yang terdampak dari kebijakan pemerintah yang memfasilitasi kegiatan investasi”, terang Rachmi.

Mekanisme ISDS tidak hanya dibahas di dalam Perjanjian RCEP, tetapi juga kerap dibahas dalam perjanjian yang sedang dirundingkan oleh Indonesia, yaitu Indonesia-EU CEPA. Bahkan, dalam Perjanjian Indonesia-Australia CEPA yang telah ditandatangani tahun 2018 yang lalu juga mengatur mekanisme ISDS di dalamnya. Termasuk, Bilateral Investment Treaty (BIT) yang ditandatangani oleh Indonesia dengan Singapura tahun lalu.

“Kami akan terus mendesakan penolakan mekanisme ISDS di berbagai perjanjian perdagangan dan investasi yang dirundingkan ataupun yang akan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Termasuk, mendesak DPR RI untuk menolak memberikan persetujuan kepada perjanjian perdagangan dan investasi yang mengatur mekanisme ISDS. Hal ini untuk memastikan bahwa perjanjian perdagangan dan investasi tidak merugikan kepentingan nasional dan bertentangan dengan Konstitusi”, tambahnya.

Mekanisme ISDS juga telah memberikan impunitas hukum bagi investor asing. Akibat gugatan ISDS, telah mempersempit perjuangan rakyat terhadap dampak buruk yang ditimbulkan oleh aktivitas bisnis korporasi terhadap kehidupannya, baik terkait dengan isu pelanggaran HAM, kerugian ekonomi, maupun kerusakan lingkungan yang lebih luas. Bukti negara tersandera kepentingan investor adalah ketika hilangnya ruang kebijakan yang dimiliki negara dalam menetapkan kebijakan nasional yang melindungi kepentingan nasional.

Hal inilah yang pada akhirnya negara tidak dapat secara konsisten menerapkan kebijakan. Menurutnya contoh konkritnya adalah ketika Pemerintah melakukan pencabutan izin tambang kepada perusahaan India, India Metal Ferro Alloys (IMFA, karena berstatus non-CnC. Gugatan IMFA telah mengancam konsistensi pelaksanaan kebijakan Pemerintah Indonesia yang hendak membenahi carut-marut tata kelola perizinan tambang di Indonesia. Termasuk gugatan Newmont yang memprotes pembatasan ekspor konsentrat sebagai pelaksanaan dari Undang-undang Minerba No.4 tahun 2009.

Mahalnya biaya penyelesaian sengketa di arbitrase internasional dan nilai kompensasi kerugian yang dimintakan oleh investor asing berpotensi merugikan keuangan negara. Karena tingginya biaya sengketa yang harus dibayarkan Negara, pilihan pragmatislah yang diambil. Pada akhirnya, negara menghentikan penerapan kebijakan yang digugat daripada harus berhadapan dengan investor di meja arbitrase dengan biaya yang amat mahal. Biasanya, efek ini dinamakan “Regulatory Chill”.

“Walaupun dalam beberapa kasus Indonesia menang, tetapi negara tetap menjadi pihak yang dirugikan. Dengan kata lain, Gugatan ISDS secara efektif memungkinkan investor asing untuk meneruskan risiko investasi mereka kepada warga negara dan anggaran publik di Negara tuan rumah. Pemerintah Indonesia sendiri ketika berhadapan dengan Churcill Mining di ICSID telah mengeluarkan biaya sekitar US$ 10,5 Juta. Dan ketika berhadapan dengan IMFA mengeluarkan biaya sekitar US$ 2,9 juta plus 361.247 poundsterling atau setara Rp 50 miliar”, pungkas Rachmi.

Dalam 9 tahun terakhir sejak 2011, terjadi peningkatan sebanyak 6 kasus gugatan investor yang dihadapi Indonesia akibat mekanisme ISDS. Dua kasus sebelumnya terjadi di tahun 1983 dan 2004. Dari total 8 kasus yang dihadapi Indonesia, sebanyak 50% berada di sektor tambang, diantaranya gugatan yang dilayangkan oleh Churchill Mining, Planet Mining, Newmont Mining, dan India Metal Ferro Alloys (IMFA). Dua kasus lainnya terkait dengan gugatan Rafat Ali Rizfi dan Hesham Al-waraq di sektor keuangan dan Oleovest Ltd di sektor pengolahan sawit.*